AKU PATUT MEMBENCI DIA
Selama
satu tahun aku tak pernah merasa selega ini, aku lebih lepas menjalani
hari-hariku. Aku lebih menghargai hidup setelah aku rela melepas kekasih
hatiku, walau berat tapi ini jauh lebih baik. Walaupun tak pernah ada kata
putus diantara kita, tapi aku tak mau mempermasalahkannya.
“Hei,
pagi-pagi udah senyum aja nih.”
“Eh, Via. Iya dong, kan kita harus menghargai
hidup. Nggak boleh kan kita menyia-nyiakan hidup, apalagi karena cowok.”
“Ik, kamu udah
move on dari cakka? Serius?” aku hanya menganggukan kepala
“Ah, Oik. Ini
baru sahabat gue, nggak lemah apalagi terpuruk karena cowok.”
“Semua kejadian
ini bikin gue sadar, kalo Cakka itu bukan yang terbaik buat gue. Gue sadar,
kalo pacaran sama Cakka itu sebuah kesalahan.”
“Lo yakin mau
ngelepas Cakka sama Shilla?”
“Gue yakin, Vi.
Gue nggak mau hati gue terus-terusan sakit Cuma karena Cakka, hati gue lebih
berharga.”
“Itu baru
sahabat gue.” Kata Via sambil memelukku.
Aku tahu, ini jalan
yang terbaik untukku. Masih banyak orang-orang yang menyayangiku, aku tak mau
terpuruk hanya karena Cakka.
“Eh, Vi. Ke kantin yuk,
laper nih gue.”
“Loe yakin, Ik? Ini kan
masih jam pelajaran, loe nggak takut ketemu Cakka?”
“Duh, nggak mungkin
deh. Apalagi kelas Cakka jauh dari kantin, ayo.” Kataku sambil menarik tangan
Via.
“Okeh-okeh, tapi loe
nggak usah tarik tangan gue dong. Sakit tau!”
@kantin
“Duh, lama banget sih.
Nggak tau apa kalo gue lagi laper banget.”
“Sabar, Ik. Salah loe
juga kali, ke kantin nggak.....”
“Nggak apa? Loe kalo
ngomong yang bener dong, jangan di potong-potong gitu.” Via tak menjawab, hanya
memandang terkejut ke arah belakang tubuhku.
“Ik, dia dateng.”
DEEEEGGG....
Perasaanku mulai tak
enak, perlahan aku melihat ke arah yang Via lihat. Aku terkejut, Cakka menuju
ke arah markas. Aku tak menyangka dia akan ke markas di saat jam pelajaran
sedang berlangsung, apalagi dia sudah kelas tiga. Seharusnya dia sibuk di saat
sekarang, tapi ternyata itu tak berlaku untuknya. Ini bukan yang aku inginkan,
kenapa di saat aku mulai bisa melepaskannya dia muncul di hadapanku?. Aku tahu
markasnya berada tepat di sebelah kantin, seharusnya aku lebih berhati-hati.
Seharusnya aku tahu, kebiasaannya sebelum ke markas adalah membeli minuman di
kantin terlebih dahulu. Tapi bukan ini yang aku inginkan, sungguh.
CAKKA P.O.V
Terkejut?
Tentu saja saja aku terkejut, Aku tak menyangka bisa melihatnya di kantin, aku
melihatnya di saat aku baru memasuki kantin. Aku berbalik dan melangkahkan
kakiku ke arah markas, aku tak kuasa menahan rasa bersalahku padanya.
“Bang.”
“Gue
ke markas, loe beli minuman terus loe sampein maaf gue buat dia”
Aku
tahu, aku memang pengecut. Untuk meminta maaf padanya aku hanya bisa menyuruh
Alvin, aku benar-benar pengecut.
OIK P.O.V
Aku
melihat dia berbalik arah ke markas, aku tahu penyebabnya. Aku adalah penyebab
utama dia melenggang pergi meninggalkan kantin, aku yakin itu.
“Ik.” Aku tersadar karena suara itu.
“Alvin..”
“Sorry,
Ik. Gue ganggu acara makan loe, gue mau nyampein pesan dari Cakka.”
DEEEEEEEGGHHH..
“Aa..paa
maksud loe?”
“Cakka
minta maaf sama loe.”
Marah?
Tentu saja aku marah. Apa maksud Cakka melakukan hal ini? Minta maaf melalui
Alvin? Benar-benar pengecut. Segera aku bangkit dan meninggalkan kantin.
“Oik,
loe mau kemana?” tak kudengarkan panggilan Via.
Hanya
satu tempat yang ingin aku tuju, Markas.
BRRAAAAKKKKKKKKK....!!!!
Aku
berjalan memasuki markas, tak ku hiraukan tatapan terkejut dari seluruh
ruangan.
“Oik?
Ngapain loe di sini? Lo cari Cakka?”
“Dimana
dia, Iel? Gue mau ngomong sama dia!”
“Ada apa ini?” kulihat
dia dengan wajah yang tanpa dosa, tanpa di komando para pengikutnya membubarkan
diri.
“Maksud kakak tuh apa
sih?”
“Maksudnya? Kakak nggak
ngerti?”
Aku mendorong tubuhnya
dengan keras hingga bagian belakang tubuhnya menabrak dinding.
“Akh..”
“Sakit? Itu belum
sebanding dengan rasa sakit yang Oik alami karena kakak.” Dia hanya menunduk,
tak berani menatap mataku
“Kakak sadar nggak sih?
Selama ini kakak tuh udah nyakitin Oik, kakak tuh cowok paling jahat yang
pernah Oik kenal.” Aku mendorong bahunya, sekali lagi dia hanya diam.
“Udah lah, kak. Kita
tuh emang nggak pernah bisa bareng, kita tuh emang nggak cocok. Kita emang
beda, beda dalam segala hal. Oik benci sama kakak.”
CAKKA P.O.V
Dia mengayunkan
tangannya ke arah wajahku, aku hanya memejamkan mata. Tapi, sampai detik
berikutnya tangan itu tak mendarat di wajahku. Aku membuka mata, kulihat dia
menangis, tangannya mengepal di depan wajahku. Oik, tolong jangan menangis.
“Akh...! mungkin aku
nggak bisa bales semua perlakuan kakak sama Oik, tapi Oik yakin kalo suatu saat
kakak bakal ngerasain sakitnya kehilangan yang pernah kakak sayang. Mulai saat
ini kakak bebas, bebas ngelakuin apa yang kakak mau. Nggak akan ada lagi Oik di
kehidupan kakak, makasih buat semuanya.”
Aku hanya diam
memandang kepergiannya, sedih, sakit dan mungkin kecewa. Tapi aku tak bisa
berbuat apa-apa, karena aku sadar ini semua adalah kesalahanku. Andai Oik tahu,
apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tak akan pernah aku melibatkannya di
dalammasalahku, karena aku masih menyayanginya.
“Bang, loe kenapa?”
“Gue nggak apa-apa,
mending kita balik ke kelas.”
OIK P.O.V
O
Sudah beberapa hari ini
hubunganku dengan Cakka kandas, tapi hati ini masih tak menerimanya. Aku masih
mengingatnya, masih sangat mengingatnya. Aku masih mengingat semua kegiatannya,
masih mengingat kebiasaannya, masih
mengingat semua tentangnya. Kenapa ingatan ini tak pernah lepas darinya? Tuhan, aku hanya ingin hidup
tenang sekarang. Tak peduli apapun tetangnya, aku ingin menjalani hari-hariku
seperti yang lainnya. Aku percaya, di masa yang akan dating aku akan bertemu
dengan seseorang yang lebih baik dari Cakka. Aku mungkin pernah bersama seorang
preman sekolah, aku juga pernah merasakan menjadi seorang kekasih yang tak
dianggap, dan aku juga patut untuk membencinya, inilah ceritaku, cerita seorang
anak SMA yang merasakan cinta monyet. Cerita ini mungkin tak berakhir happy
ending, tapi aku yakin, suatu saat aku akan menceritakan ceritaku yang happy
ending, bukan sad ending. Selamat tinggal Cakka, kamu hanya pantas untuk
dikenang, bukan untuk diingat.
OIK CAHYA
RAMADLANI…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar