Selasa, 08 Desember 2015

AKU PATUT MEMBENCI DIA



AKU PATUT MEMBENCI DIA

            Selama satu tahun aku tak pernah merasa selega ini, aku lebih lepas menjalani hari-hariku. Aku lebih menghargai hidup setelah aku rela melepas kekasih hatiku, walau berat tapi ini jauh lebih baik. Walaupun tak pernah ada kata putus diantara kita, tapi aku tak mau mempermasalahkannya.

            “Hei, pagi-pagi udah senyum aja nih.”
  “Eh, Via. Iya dong, kan kita harus menghargai hidup. Nggak boleh kan kita menyia-nyiakan hidup, apalagi karena cowok.”
“Ik, kamu udah move on dari cakka? Serius?” aku hanya menganggukan kepala
“Ah, Oik. Ini baru sahabat gue, nggak lemah apalagi terpuruk karena cowok.”
“Semua kejadian ini bikin gue sadar, kalo Cakka itu bukan yang terbaik buat gue. Gue sadar, kalo pacaran sama Cakka itu sebuah kesalahan.”
“Lo yakin mau ngelepas Cakka sama Shilla?”
“Gue yakin, Vi. Gue nggak mau hati gue terus-terusan sakit Cuma karena Cakka, hati gue lebih berharga.”
“Itu baru sahabat gue.” Kata Via sambil memelukku.

Aku tahu, ini jalan yang terbaik untukku. Masih banyak orang-orang yang menyayangiku, aku tak mau terpuruk hanya karena Cakka.

“Eh, Vi. Ke kantin yuk, laper nih gue.”
“Loe yakin, Ik? Ini kan masih jam pelajaran, loe nggak takut ketemu Cakka?”
“Duh, nggak mungkin deh. Apalagi kelas Cakka jauh dari kantin, ayo.” Kataku sambil menarik tangan Via.
“Okeh-okeh, tapi loe nggak usah tarik tangan gue dong. Sakit tau!”

@kantin

“Duh, lama banget sih. Nggak tau apa kalo gue lagi laper banget.”
“Sabar, Ik. Salah loe juga kali, ke kantin nggak.....”
“Nggak apa? Loe kalo ngomong yang bener dong, jangan di potong-potong gitu.” Via tak menjawab, hanya memandang terkejut ke arah belakang tubuhku.
“Ik, dia dateng.”

DEEEEGGG....

Perasaanku mulai tak enak, perlahan aku melihat ke arah yang Via lihat. Aku terkejut, Cakka menuju ke arah markas. Aku tak menyangka dia akan ke markas di saat jam pelajaran sedang berlangsung, apalagi dia sudah kelas tiga. Seharusnya dia sibuk di saat sekarang, tapi ternyata itu tak berlaku untuknya. Ini bukan yang aku inginkan, kenapa di saat aku mulai bisa melepaskannya dia muncul di hadapanku?. Aku tahu markasnya berada tepat di sebelah kantin, seharusnya aku lebih berhati-hati. Seharusnya aku tahu, kebiasaannya sebelum ke markas adalah membeli minuman di kantin terlebih dahulu. Tapi bukan ini yang aku inginkan, sungguh.

CAKKA P.O.V
           
            Terkejut? Tentu saja saja aku terkejut, Aku tak menyangka bisa melihatnya di kantin, aku melihatnya di saat aku baru memasuki kantin. Aku berbalik dan melangkahkan kakiku ke arah markas, aku tak kuasa menahan rasa bersalahku padanya.

            “Bang.”
            “Gue ke markas, loe beli minuman terus loe sampein maaf gue buat dia”

            Aku tahu, aku memang pengecut. Untuk meminta maaf padanya aku hanya bisa menyuruh Alvin, aku benar-benar pengecut.

OIK P.O.V
            Aku melihat dia berbalik arah ke markas, aku tahu penyebabnya. Aku adalah penyebab utama dia melenggang pergi meninggalkan kantin, aku yakin itu.
            “Ik.” Aku tersadar karena suara itu.
            “Alvin..”
            “Sorry, Ik. Gue ganggu acara makan loe, gue mau nyampein pesan dari Cakka.”

DEEEEEEEGGHHH..

            “Aa..paa maksud loe?”
            “Cakka minta maaf sama loe.”

            Marah? Tentu saja aku marah. Apa maksud Cakka melakukan hal ini? Minta maaf melalui Alvin? Benar-benar pengecut. Segera aku bangkit dan meninggalkan kantin.

            “Oik, loe mau kemana?” tak kudengarkan panggilan Via.

            Hanya satu tempat yang ingin aku tuju, Markas.


BRRAAAAKKKKKKKKK....!!!!

            Aku berjalan memasuki markas, tak ku hiraukan tatapan terkejut dari seluruh ruangan.
           
            “Oik? Ngapain loe di sini? Lo cari Cakka?”
            “Dimana dia, Iel? Gue mau ngomong sama dia!”

“Ada apa ini?” kulihat dia dengan wajah yang tanpa dosa, tanpa di komando para pengikutnya membubarkan diri.
“Maksud kakak tuh apa sih?”
“Maksudnya? Kakak nggak ngerti?”
Aku mendorong tubuhnya dengan keras hingga bagian belakang tubuhnya menabrak dinding.

“Akh..”
“Sakit? Itu belum sebanding dengan rasa sakit yang Oik alami karena kakak.” Dia hanya menunduk, tak berani menatap mataku
“Kakak sadar nggak sih? Selama ini kakak tuh udah nyakitin Oik, kakak tuh cowok paling jahat yang pernah Oik kenal.” Aku mendorong bahunya, sekali lagi dia hanya diam.
“Udah lah, kak. Kita tuh emang nggak pernah bisa bareng, kita tuh emang nggak cocok. Kita emang beda, beda dalam segala hal. Oik benci sama kakak.”

CAKKA P.O.V

Dia mengayunkan tangannya ke arah wajahku, aku hanya memejamkan mata. Tapi, sampai detik berikutnya tangan itu tak mendarat di wajahku. Aku membuka mata, kulihat dia menangis, tangannya mengepal di depan wajahku. Oik, tolong jangan menangis.

“Akh...! mungkin aku nggak bisa bales semua perlakuan kakak sama Oik, tapi Oik yakin kalo suatu saat kakak bakal ngerasain sakitnya kehilangan yang pernah kakak sayang. Mulai saat ini kakak bebas, bebas ngelakuin apa yang kakak mau. Nggak akan ada lagi Oik di kehidupan kakak, makasih buat semuanya.”

Aku hanya diam memandang kepergiannya, sedih, sakit dan mungkin kecewa. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, karena aku sadar ini semua adalah kesalahanku. Andai Oik tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tak akan pernah aku melibatkannya di dalammasalahku, karena aku masih menyayanginya.

“Bang, loe kenapa?”
“Gue nggak apa-apa, mending kita balik ke kelas.”

OIK P.O.V
O
Sudah beberapa hari ini hubunganku dengan Cakka kandas, tapi hati ini masih tak menerimanya. Aku masih mengingatnya, masih sangat mengingatnya. Aku masih mengingat semua kegiatannya, masih  mengingat kebiasaannya, masih mengingat semua tentangnya. Kenapa ingatan ini tak pernah lepas darinya? Tuhan, aku hanya ingin hidup tenang sekarang. Tak peduli apapun tetangnya, aku ingin menjalani hari-hariku seperti yang lainnya. Aku percaya, di masa yang akan dating aku akan bertemu dengan seseorang yang lebih baik dari Cakka. Aku mungkin pernah bersama seorang preman sekolah, aku juga pernah merasakan menjadi seorang kekasih yang tak dianggap, dan aku juga patut untuk membencinya, inilah ceritaku, cerita seorang anak SMA yang merasakan cinta monyet. Cerita ini mungkin tak berakhir happy ending, tapi aku yakin, suatu saat aku akan menceritakan ceritaku yang happy ending, bukan sad ending. Selamat tinggal Cakka, kamu hanya pantas untuk dikenang, bukan untuk diingat.

OIK CAHYA RAMADLANI…

KEKASIH TAK DIANGGAP



KEKASIH TAK DIANGGAP

OIK P.O.V

Setelah satu bulan menjadi kekasih Cakka, kehidupanku sedikit demi sedikit berubah. Berubah menjadi lebih sabar , lebih perhatian, dan sebagainya. Sayang, itulah yang sedang aku rasakan. Meski di luar sana banyak yang beranggapan buruk tentangnya, tapi aku tak mau ambil pusing. Aku tau, statusku yang menjadi kekasih Cakka itu jauh lebih beresiko jika dibandingkan menjadi kekasih orang lain. Cakka memang sudah tak asing lagi di wilayah sekolah. Siapa yang tak tahu sosok Cakka? Sebelum aku mengenalnya pun Cakka sudah menjadi ketua geng di sekolah. Wajar saja jika pengikutnya tak sedikit, tapi karena itulah aku merasa terlindungi. Aku memang beruntung menjadi kekasih seorang ketua geng di sekolah, kalian tahu kan? Dari awal aku berpacaran dengannya, tak ada satupun orang yang berani menyakitiku. Karena jika  aku tersakiti, Cakka dan pengikutnya tak segan-segan menyakiti orang yang telah menyakitiku. Pasti kalian menganggap Cakka terlalu protect? Tapi itulah Cakka.

Aku melihatnya di lapangan sekolah, dia sedang bermain bola bersama para pengikutnya. Aku melihatnya tertawa lepas, sangat jarang aku melihatnya seperti itu. Cakka memang tak pandai menunjukkan perasaannya padaku, Cakka memang bukan pacar yang romantis. Dia pacar yang dingin dan cuek, itulah Cakka. Sampai sekarang pun dia tak pernah mengatakan sayang, apalagi bercerita tentang keluarganya. Aku tahu Cakka memang tertutup untuk masalah pribadinya, sampai aku pernah berfikir bahwa dia tak pernah benar-benar menyayangiku.

“Hei, ngelamun aja.!”
“Heh.. kak Cakka. Dari kapan kakak di situ?”
“Tuh, kan ngelamun. Ngelamunin apa sih De? Sampe nggak nyadar pacarnya di sini.”
“Hehehe.. nggak kok, nih minum dulu. Kakak pasti cape, de juga bawain tissue sama parfum. Kakak berkeringat banget, bau asem ikh.”
“Tapi kamu tetep suka.. wlee..”
“Uh, nggak tuh. Siapa coba yang suka sama kakak?
“Nggak mau ngaku.. oke nih balesannya buat orang yang nggak mau ngaku.” Kak Cakka mengacak rambutku.
“Ikh, kakak. Rambutku berantakan nih. Bete ah..”
“Gitu aja ngambek, nih biar gak ngambek lagi.” Katanya sambil memelukku.
“Ikh bau asem, jangan peluk-peluk de. Huhuhu..”
“Hahahaha...”

Cakka selalu seperti itu, tak  pernah serius ketika bersamaku.

“Bang..”

Kulihat dayat memanggil Cakka, wajahnya terlihat gelisah dan khawatir. Perasaanku mulai tak enak, apa yang sebenarnya terjadi. Kulihat dayat membisikkan sesuatu ke telinga Cakka, dan wajahnya tiba-tiba mengeras.

“Sial, apa yang mereka mau? Kita nggak punya urusan sama mereka?”
“Gue juga nggak tau bang, mereka mau berhadapan sama abang.”
“Ya udah, bilang sama yang lain. Kita harus siap-siap, kita nggak tau kapan mereka ke sini.”
“Oke bang.”

Aku khawatir, apa ada sesuatu yang buruk terjadi. Tuhan, semoga semuanya baik-baik saja.

“Kak.” Aku menggenggam tangannya
“Kamu tenang aja, semua pasti baik-baik aja..”

Tiba-tiba.....

PPPRRRRAAAAAAAKKKKKKKK...

“Aduh..”
“Ya Tuhan, Darah. Kamu nggak apa-apa de?”

Ada serpihan genting yang pecah mengenai kepalaku, kulihat Dayat tergopoh-gopoh menghampiri kami.

“Bang, mereka nyerang kita!”
“Brengsek, mereka nyerang sekarang. Cepet serang mereka balik, gue mau bawa Oik dulu ke atas. Oik udah terluka sekarang.”
“Baik bang!”

“De, kita ke atas sekarang. Kakak nggak mau kamu terluka lagi.”

Tanpa basa-basi Cakka mengantarku ke kelas, sebelum dia pergi aku mencekal lengannya.

“Kak..”
“Kamu tenang aja yah, kakak akan baik-baik aja. Kamu jangan lupa obatin lukanya, kening kamu berdarah.” Katanya sambil sekilas mencium keningku.

Aku tahu, ini memang resiko menjadi kekasih Cakka. Menjadi target lawan bahkan harus sampai terluka, Tapi aku tak menyangka bahwa kejadian ini akan terjadi. Tuhan, tolong lindungi Cakka.

“Ik..”

Kulihat Via dan Ify berada di sampingku.

“Aku yakin Cakka pasti baik-baik aja, kamu yang tenang yah.” Kata Ify
“Makasih Vi, Fy. Kalian memang sahabat terbaik.” Kataku sambil memeluk mereka.
“Mending sekarang kita obatin kening kamu yang berdarah itu sebelum infeksi.” Aku hanya menganggukan kepala.

@siang hari 

Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Markas ini berantakan, dimana Cakka.

“Oik.”
“Ya Allah, kak Cakka. Kenapa bisa kaya gini sih? Kakak babak belur kaya gini, sini Oik obatin lukanya.” Tanpa sadar aku meneteskan air mataku.
“Hei, jangan nangis donk, masa pacarnya preman nangis sih. Gak pantes tau nggak?”
“Aku Cuma khawatir sama kakak, aku nggak mau kakak kenapa-kenapa. Aku sayang kakak.”
“Hei, kakak nggak kenapa-kenapa. Ini hanya luka kecil.” Katanya sambil memelukku.
“Oik mohon, jangan buat Oik khawatir lagi. Jangan ngelakuin kaya gini lagi, Oik nggak sanggup tanpa kakak.”
“Iya-iya kakak janji. Udah dong jangan nangis lagi.” Aku mengusap air mataku dan tersenyum.

@keesokan harinya

Seperti biasa, setiap waktu istirahat aku berada di markas. Ini lah kegiatanku sehari-hari, istirahat selalu menemani Cakka di markas. Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini, duduk manis di tempat biasa kita duduk. Dan melakukan kegiatan istirahatku di sini.

Cakka P.O.V
            
 Aku melihat Oik duduk di tempat biasa, aku beruntung bisa mempunyai kekasih hati seperti Oik. Dia begitu menerima aku apa adanya, sedangkan dia tahu bagaimana keadaanku. Dia rela menerima cacian dan makian dari orang-orang di sekelilingnya karena menjadi kekasihku yang notabene adalah preman sekolah. Dia terlihat sabar melihat tingkahku, aku memang tak pandai memperlihatkan perasaanku. Kalian tahu? Sampai sekarang aku tak pernah mengatakan bahwa aku menyayanginya, tapi dia tak pernah mempermasalahkannya.

            “Bang.”
            “Eh, loe Biet. Kenapa?”
“Tuh, udah di tunggu Oik daritadi. Gue liat dia pucat banget. Mending loe ke sana deh.”
           
            Aku segera menghampirinya, dia sedang menyangga kepalanya di meja.

            “De, kamu sakit.”

            Dia mendongak, benar kata Obiet. Oik terlihat sangat pucat.
            
            “Muka kamu pucat banget, kenapa kamu nggak istirahat aja di kelas sih?”
            “Oik nggak apa-apa kak, Cuma sedikit pusing aja.”
            “Ya udah, mending kita ke dalem. Biar kamu bisa rebahan.”

            Tanpa penolakan Oik, aku membawanya ke dalam markas.
           
            “Kamu istirahat aja di sini, biar kakak suruh Obiet ngijinin kamu.”
           
            Tanpa berkata apa-apa, Oik menyandarkan kepalanya di bahuku. Tak berapa lama, nafasnya sudah teratur, Oik sudah tertidur. Baru kali ini aku melihatnya lemah seperti ini, tak seperti Oik yang ceria seperti biasa. Aku mencium keningnya sekilas, entah mengapa hati ini tak mau melepaskannya.

@Beberapa bulan kemudian

OIK P.O.V
            
  Apa maksudnya, Cakka mengirim pesan singkat untuk Shilla seperti ini. Bahkan Cakka tak pernah seperti ini padaku, tapi bersama Shilla dia bisa semesra ini. Kemarin aku memang sengaja meminjamkan handphone ini pada Cakka, tapi bukan ini yang ingin aku lihat. Cakka mengirim pesan untuk wanita lain dari handphoneku sendiri, aku seperti jembatan yang menjembatani kisah mereka. Rasanya tak adil jika Cakka melakukan ini padaku, aku yang pantas diberi perhatian. Bukan Shilla yang notabene hanyalah teman biasa, tapi apa yng bisa aku lakukan? Cakka hanya bisa menyangkalnya, aku mencoba untuk mempercayainya. Meskipun hati ini terluka, aku hanya bisa percaya padanya.

            “Kak, kok aku liat akhir-akhir ini kakak beda banget. Kakak ada masalah?”
            “Enggak de, kakak nggak kenapa-kenapa. Kamu tenang aja.”
            “Kakak terlihat lebih dingin sekarang, kakak nggak suka kalo Oik ada di sini?”
           
            Cakka hanya terdiam, aku tak bisa berbuat apa-apa. Terlalu sulit untukku mengahadapinya, dia terlalu tertutup dengan masalahnya. Padahal aku sudah tau semuanya, apa yang dia lakukan sampai tentang keadaan keluarganya. Tapi dia tak mau mengatakannya, aku hanya berkeyakinan bahwa dia baik-baik saja. Aku berdiri dan meninggalkan Cakka di tempatnya. Mungkin dia hanya butuh ketenangan tanpa aku di sisinya.
           
Tiga minggu kemudian.................

Sudah tiga minggu aku tak melihatnya, kemana dia? Hati ini resah, apakah dia baik-baik saja. Entahlah, tak ada satupun kabar tentangnya. Bahkan dari para pengikutya pun tak ada kabar, seakan-akan mereka menutupi sesuatu tentangnya. Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah aku masih menjadi kekasihnya? Aku bagaikan kekasih tak dianggap. Statusku memang kekasihnya, tapi kenyataan tak seindah harapan. Aku merasa sedikit demi sedikit dia mulai menjauhiku, tapi apa salahku? Selama ini kita baik-baik saja, lalu mengapa tiba-tiba dia menjauhiku? Dia menggantungkan kisah ini.

“Kak, apa aku salah merasakan sakit ini?’
“Nggak Ik, kamu nggak salah. Cakka aja yang nggak pernah mau melihat kalo ada orang yang sayang sama dia.”

Saat ini aku bersama kak Rahmi, dia teman sekelas Cakka. Aku hanya bisa bercerita dengannya, karena hanya dialah yang tau kabar tentang Cakka.

“Ik, Cakka baru masuk sekolah. Udah satu minggu dia sakit.”
“Kenapa kak Rahmi nggak bilang sama Oik kalo kak Cakka sakit? Oik ngerasa nggak berguna jadi pacar kak Cakka.”
“Ik, kamu udah di sakiti. Kenapa kamu masih kaya gini, sih?”
“Oik tau kak, tapi Oik nggak bisa bohong kalo Oik masih sayang sama dia.”
“Ik, kamu tau kalo Cakka itu ‘pemake’?”
“Oik tau kak.” Kulihat kak Rahmi terkejut.
“Kenapa kamu diem aja? Ik, lupain dia. Dia nggak pantes buat jadi pendamping kamu, kamu masih bisa ngedapetin orang yang jauh lebih baik dari dia.!”
“Oik juga nggak tau kak, apa Oik bisa ngelupain rasa ini.” Tanpa terasa air mata ini mengalir di pipiku. “Oik sayang kak Cakka.”
“Oik, Lupain dia!  Jangan buang air mata kamu Cuma buat orang kaya Cakka!.” Katanya seraya memelukku.

*********
Aku memilih untuk berjalan dari jalan kecil yang jarang dilewati anak-anak di sekolah, aku merasa sedikit menerima kenyataan bahwa aku dan Cakka tak mungkin bersatu tanpa alasan yang jelas. Aku yakin, Tuhan akan memberi kebahagiaan suatu saat nanti. Tiba-tiba mataku terantuk pada dua orang di depanku, kalian tahu? Itu Cakka dan... Shila. Jadi, selama ini apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aku harus menelan pil pahit ini, sesak rasanya melihat orang yang kita sayangi lebih terlihat bahagia bersama orang lain.
Aku berjalan pelan di belakang mereka, begitukah rasanya ketika sepasang manusia sedang jatuh cinta? Tertawa lepas seakan tak mengenal dunia luar, aku tak sanggup melihat adegan itu. Setelah mereka berbelok, aku segera berlari ke arah kelas. Aku tak sanggup melihatnya, untung kelas masih sepi. Jadi aku tak perlu merasa malu untuk menangis.

“Ternyata ini kelakuan kamu di belakang Oik kak, sakit rasanya. Oik kira semuanya akan baik-baik aja, Oik benci kakak. Kenapa bukan Oik yang buat kakak bahagia? Ternyata selama ini kakak Cuma main-main sama Oik. Tapi aku nggak boleh sedih, aku harus bisa tanpa kak Cakka. Okeh Oik, mulai hari ini kamu bukan pacar kak Cakka lagi. Kamu Cuma masa lalunya nggak lebih.!” Segera aku menghapus air mataku.

*******

            Hari demi hari aku mencoba untuk bangkit dari keterpurukan ini, aku tak mungkin terus seperti ini. Masih banyak orang yang menyayangiku di luar sana, aku harus kuat. Walau berat, tapi aku yakin. Seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa melupakannya. Sebisa mungkin aku menghindarinya, walau berat aku harus bisa. Menghindarinya bukan sesuatu yang mudah, karena letak kelasku yang dekat dengan markas membuatku harus lebih berhati-hati keluar kelas. Aku tak ingin melihatnya lagi, terlalu sakit hati ini.
            Aku sadar, mungkin aku bukan seseorang yang bisa menemaninya di saat dia butuh. Aku tahu dia butuh seseorang yang bisa menemaninya di saat dia butuh, aku tahu dia terpuruk. Tapi sekali lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sifatnya yang tertutup membuat aku sedikit segan untuk menanyakan semua masalahnya, mungkin karena itulah dia mencari sosok lain yang bisa menemaninya kapan pun dia butuh.
            Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, mungkin itu benar. Sepandai-pandainya aku menghindar, dia bisa bertemu denganku juga. Tak sengaja aku dan Cakka bertemu di salah satu kantin sekolah, aku tahu dia terkejut karena tak mengira kita akan bertemu. Aku segera mengalihkan pandanganku darinya, karena hati ini masih sangat menyayanginya.
           
            “Oik.”
            “Maaf ka, Oik harus ke kelas. Bentar lagi masuk.”

            Tak seharusnya aku bersikap seperti itu, tapi aku harus melakukannya. Aku tak mau dianggap lemah oleh Cakka, aku harus menunjukkan bahwa aku kuat tanpanya.

CAKKA P.O.V

            Setelah sekian lama aku tak pernah melihatnya, hari ini aku melihatnya kembali. Ingin rasanya aku memeluknya dan mengatakan bahwa aku menyayanginya. Tapi apa daya? Raga ini menolak untuk melakukannya. Berminggu-minggu aku mencarinya, ternyata dia menghindariku. Aku tahu mungkin ini salahku, salahku yang mendahului menghindarinya. Andai dia tahu bahwa aku menyayanginya, mungkin dia tak akan pernah menghindariku. Andai waktu bisa di putar kembali, ingin rasanya aku mengungkapkan seluruh isi hatiku. Keterpurukan dan masalah yang aku alami, adalah penyebab utama aku menjauhinya. Aku merasa tak pantas menjadi kekasihnya, dia orang yang berbeda denganku.  Aku tahu itu salah, apalagi akhir-akhir ini hanya ada Shilla yang mendampingiku.
            Firasatku mengatakan, bahwa karena akulah Oik menghindariku. Mungkin dia juga sudah mendengar kabar kedekatanku dengan Shilla, tapi apakah dia tahu? Bahwa aku merindukannya, merindukan semua tentangnya. Suara tawanya, sikap manjanya, bahkan ketika dia mengeluh karena lelah. Tapi, itu tak sepenuhnya salahku. Dimana dia di saat aku sakit? Dimana dia di saat aku membutuhkannya? Aku tak mengerti kenapa semuanya berakhir seperti ini. Tuhan, kuatkan aku untuk bisa melupakannya.

@keesokan harinya...

            Aku berjalan ke arah markas, aku berharap aku bisa melihatnya. Mungkin untuk terakhir kalinya, karena aku memutuskan untuk melupakannya. Dan ternyata Tuhan mendengarkan harapanku, aku melihatnya di depan kelas. Tak sengaja matanya beradu pandang denganku, aku tahu bahwa dia sangat kecewa denganku. Aku melihat kekecewaan itu dari matanya, mata tajamnya menyiratkan bahwa dia sangat terluka. Aku melewatinya tanpa melirik ke arahnya, mungkin dia akan merasa tersakiti, tapi aku yakin inilah jalan yang terbaik untuk kita. Karena kita memang berbeda.....

OIK P.O.V

Aku melihat ke arah markas, aku merasa rindu berada di sana. Rindu melakukan kegiatan istirahatku bersama Cakka, kulihat Cakka berjalan ke arah markas. Kurasakan dia memandangiku dari jauh, aku tahu itu. Tapi aku hanya bisa diam, aku hanya mencoba untuk  rela melepaskannya. Dia berjalan di depanku, kalian tahu? Dia melewati tanpa melirikku sedikit pun. Sakit rasanya, tapi inilah kenyataannya. Sekarang aku yakin, bahwa Cakka tak pernah menyayangiku. Mungkin ini adalah akhir kisahku, kisahku bersama kekasih hatiku... CAKKA....